4 SERANGKAI DARI TANAH JAWI

Di jelaskan bahwa dalam sebuah riwayat
Syekh Abdul Wahab bertemu dengan
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di
Madinah, dalam majelis ilmu gurunya
(yang kemudian juga menjadi guru
Syekh Muhammad Arsyad), Syekhul Islam, Imamul Haramain Alimul Allamah
Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi.
Jika Syekh Muhammad Arsyad (dan
Syekh Abdus Samad al-Palimbani) lebih
banyak menggunakan waktu mereka
untuk menuntut ilmu di kota Mekkah (selama 30 tahun) dan Madinah (selama 5
tahun), maka Abdul Wahab (bersama
dengan Syekh Abdurrahman Misri) lebih
banyak memanfaatkan waktu mereka
untuk menuntut ilmu di Mesir. Syekh abdul
wahab bugis berasal dari Bugis, Makasar, Sulawesi Selatan.
Tepatnya, menurut Abu Daudi (1996: 28),
Abdul Wahab adalah seorang berdarah
bangsawan, ia keturunan seorang raja
yang berasal dari daerah Sadenreng
Pangkajene, dan dilahirkan di sana. Sebagai seorang yang berdarah
bangsawan ia diberi gelar Sadenring
Bunga Wariyah. Jadi nama lengkapnya adalah
Abdul Wahab Bugis Sadenreng
Bunga Wariyah. Pangkajene, daerah tempat
kelahiran Abdul Wahab sekarang ini adalah adalah
salah satu kecamatan yang ada di
Kabupaten Pangkajene Kepulauan
(Pangkep) Sulawesi Selatan, ibukotanya
adalah Tomapoa. Terletak di sebelah atau
bagian barat dari propinsi Sulawesi Selatan. Di samping di kenal sebagai
daerah pertanian yang subur dengan
tanah pegunungan dan dataran
rendahnya, daerah ini dikenal pula
sebagai daerah perikanan. Salah satu
peninggalan sejarah yang terkenal di daerah ini adalah Arojong Pangkajene.Tidak
diketahui secara pasti kapan ia
dilahirkan. Perkiraan antara tahun
1725-1735,
mengingat usianya yang lebih muda
dibandingkan dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang dilahirkan pada tahun
1710 M. Kedatangan Abdul Wahab ke Tanah
Banjar seiring dengan kepulangan Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari setelah
menuntut ilmu di Mekkah dan Madinah
selama lebih kurang 35 tahun, yakni pada tahun 1772 M. Pada saat itu yang
memerintah di kerajaan Banjar adalah
Pangeran Nata Dilaga bin Sultan
Tamjidullah, sebagai wali putera
mendiang Sultan Muhammad Aliuddin
Aminullah (1761-1787 M), yang kemudian sejak tahun 1781-1801 secara resmi
memerintah sebagai raja Banjar
dan bergelar Sultan Tahmidullah II bin
Sultan Tamjidullah. Abdul Wahab mengikuti
Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari setelah dinikahkan dengan Syarifah.Walaupun
kemudian diketahui
bahwa Syarifah sendiri telah dinikahkan
dengan Usman dan telah mendapatkan satu
orang anak, bernama Muhammad
As’ad. Tetapi setelah diteliti oleh Syekh Muhammad Arsyad berdasarkan
hitungan Ilmu Falak maka dapat
disimpulkan bahwa pernikahan Abdul
Wahab dengan Syarifah yang dilakukan oleh
Syekh Muhammad Arsyad dengan
kedudukan Wali Mujbir di Mekkah lebih terdahulu waktunya daripada pernikahan
Syarifah dengan Usman melalui Wali
Hakim di Martapura. Karena itulah
akhirnya pernikahan Usman dan Syarifah
difasakh atau dibatalkan, dan
ditetapkan bahwa Abdul Wahab-lah yang menjadi suami Syarifah. Keputusan ini
kemudian ditaati oleh
keduabelah pihak, dan menurut cerita
Usman akhirnya merantau ke daerah
Palembang Sumatera Selatan, serta
merintis terbentuknya sebuah desa di sana yang diberi nama Martapura. Karena itu
boleh jadi di Indonesia, daerah yang
bernama Martapura hanya ada dua, yakni
Martapura di Kalimantan Selatan atau
Martapura di Palembang (Sumatera
Selatan). Hasil perkawinannya dengan Syarifah
binti Syekh Muhammad Arsyad ini
melahirkan dua orang anak, masing-
masing bernama Fatimah dan
Muhammad Yasin. Fatimah binti Syekh
Abdul Wahab Bugis kemudian dikawinkan dengan H.M. Said Bugis dan
melahirkan dua orang anak, yakni Abdul
Gani dan Halimah, sedangkan Muhammad
Yasin tidak memiliki keturunan. Abdul
Gani anak Fatimah kemudian kawin
dengan Saudah binti H. Muhammad As’ad dan juga melahirkan dua orang anak,
namun keduanya meninggal dunia.
Sementara, Halimahpun juga tidak
memiliki keturunan. Abdul Ghani
kemudian kawin lagi dengan seorang
wanita dari Mukah Sarawak dan mendapatkan lagi dua orang anak, yakni
Muhammad Sa’id dan Sa’diyah.
Muhammad Said kemudian kawin dan
mendapatkan dua orang anak, bernama
Adnan dan Jannah. Sedangkan Sa’diyah
memiliki anak bernama Sailis, yang menurut cerita kemudian tinggal di
Sekadu, Pontianak. Tekad Abdul Wahab yang
bulat untuk
memperjuangkan dakwah Islam dan
mengamalkan ilmu yang telah didapat
ketika belajar di Mesir dan di Madinah, serta ikrar yang ia ucapkan bersama
teman-temannya tatkala ingin kembali ke
tanah air, semakin menguatkan
keinginannya untuk mengabdikan ilmu
dan baktinya di Tanah Banjar. Pendidikan dan
Ketokohan Abdul Wahab dikenal sebagai salah seorang tokoh “empat serangkai”, yakni
Syekh Abdurrahman al-Misri, Syekh
Abdus Samad al-Palimbani, dan Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari, yang
memiliki akhlak dan kepribadian sebagaimana
akhlak dan kepribadian yang dimiliki oleh tokoh empat serangkai
lainnya, sebagaimana digambarkan oleh
Abu Daudi mereka adalah empat
serangkai yang seiring sejalan, yang
mendapat pendidikan dari guru yang sama,
yang sama-sama mengutamakan ilmu dan amal, dan empat serangkai
yang sama-sama pulang bersama serta
mengemban tugas yang serupa. Ia adalah
sahabat sekaligus menantu dari Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari. Jika Syekh
Muhammad Arsyad dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani lebih banyak
menghabiskan waktu mereka menuntut
ilmu di kota Mekkah, maka Abdul Wahab
bersama dengan sahabatnya Syekh
Abdurrahman Misri lebih banyak
menghabiskan waktu mereka menuntut ilmu di kota Mesir. Sehingga dalam
tulisan Abu Daudi, Abdul Wahab tercatat
sebagai salah seorang murid dari Syekhul
Islam, Imamul Haramain Alimul Allamah
Syekh Muhammad bin Sulaiman al-
Kurdi.Syekh Sulaiman al-Kurdi ini kemudian juga
menjadi guru dari Syekh Muhammad
Arsyad dan Syekh Abdusshamad al-
Palimbani. Itulah sebabnya ia mengiringi
gurunya itu ke kota Madinah ketika gurunya
itu hendak mengajar, mengembangkan pengetahuan agama dan
Ilmu Adab serta mengadakan pengajian
umum. Di kota Madinah inilah kemudian
empat
serangkai bertemu dan selanjutnya
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Abdus Samad al-Palimbani pun
mengikuti majelis pengajian Syekh
Muhammad Sulaiman al-Kurdi, yang
kemudian memicu lahirnya tulisan
Syekh Muhammad Arsyad yang berjudul
“Risalah Fatawa Sulaiman Kurdi”. Risalah ini berupa naskah yang isinya
menerangkan jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan oleh Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari kepada
Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi
tentang keadaan atau tindakan Sultan Banjar yang memungut pajak dan
mengenakan hukuman denda bagi
mereka yang meninggalkan shalat Jum’at
dengan sengaja, serta berbagai
masalah lainnya. Risalah ini ditulis dalam
bahasa Arab, dan belum pernah diterbitkan, namun naskah asli tulisan
beliau sampai sekarang masih ada dan
tetap tersimpan dengan baik pada salah
seorang zuriat beliau di desa Dalam Pagar
Martapura. Kemudian atas anjuran dari Syekh
Muhammad Sulaiman al-Kurdi pula, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan
Syekh Abdus Samad al-Palimbani yang
haus ilmu pengetahuan yang semula
berniat dan berencana untuk menambah ilmu
ke Mesir tidak jadi berangkat ke
sana, sebab ilmu pengetahuan yang mereka miliki telah dianggap cukup,
untuk selanjutnya mereka disarankan
segera pulang ke tanah air guna
mengamalkan dan mengembangkan ilmu
yang telah didapat.Syekh Muhammad Arsyad
al- Banjari dan Syekh Abdus Samad al-
Palimbani meminta izin dan restu kepada
guru mereka Syekh Athaillah bin Ahmad al-
Misri untuk menuntut ilmu
ke Mesir, namun oleh Syekh Athaillah
mereka disarankan untuk pulang ke tanah air mengamalkan ilmu yang telah
didapat, sebab Syekh Athaillah percaya
mereka (empat serangkai) telah memiliki
pengetahuan yang lebih dari
cukup, sehingga akhirnya mereka tidak
jadi menuntut ilmu ke Mesir, tetapi tetap ke sana untuk berkunjung. Sebagai
tanda kunjungan akhirnya nama Syekh
Abdurrahman al-Batawi ditambah dengan al-
Misri. Menurut riwayat, selama di kota
Madinah, “empat serangkai” juga belajar
ilmu tasawuf kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani,
seorang ulama besar dan Wali Quthub di
Madinah, sehingga akhirnya mereka
berempat mendapat gelar dan ijazah
khalifah dalam tarekat Sammaniyah
Khalwatiyah. Di samping tercatat sebagai murid dari
Syekh Muhammad bin Abdul Karim
Samman al-Madani (seorang ulama besar
dan Wali Quthub di Madinah) dan Syekh
Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, Abdul
Wahab juga berguru kepada: 1. Abdul al- Mun’im al-Damanhuri,
Ibrahim bin Muhammad al-Ra’is al-
Zamzami al-Makki (1698-1780 M) yang
terkenal sebagai ahli Ilmu Falak
(Astronomi) 2. Muhammad Khalil bin Ali bin
Muhammad bin Murad al-Husaini (1759-1791 M) yang terkenal sebagai ahli
sejarah dan penulis kamus biografi Silk
al-Durar 3. Muhammad bin Ahmad al-Jauhari
al-
Mishri (1720-1772 M) yang terkenal
sebagai seorang ahli hadits 4. Athaillah bin Ahmad al-Azhari, al-
Mashri al-Makki, yang juga terkenal
sebagai seorang ahli hadits ternama serta
dianggap sebagai isnad unggul dalam
telaah hadits. Dengan demikian jelas, bahwa
guru-guru terkemuka Abdul Wahab di atas juga
merupakan guru-guru dari tokoh empat
serangkai yang lainnya.Di samping Syekh
Muhammad Arsyad al-
Banjari sebagai motor penggerak utama
kegiatan dakwah Islam di Tanah Banjar, Abdul Wahab juga memiliki peranan
yang penting dalam mengembangkan
Islam di Tanah Banjar, mengingat kedudukan
dan figur Abdul Wahab
sebagai seorang ulama yang dikenal alim
dan sekian lama menuntut ilmu di Mesir dan daerah Timur Tengah. Perjuangan utama
Abdul Wahab Di Tanah
Banjar sendiri adalah membantu Syekh
Muhammad Arsyad mendakwahkan Islam
di wilayah kerajaan Banjar yang waktu
itu belum begitu berkembang. Mulai dari mengajarkan Islam kepada keluarga
kerajaan, mendidik kader-kader dakwah,
sampai dengan membangun desa Dalam
Pagar, yang kemudian berkembang
menjadi pusat penyebaran dan pengajaran
Islam di Kalimantan. Pertama, mengajarkan agama Islam kepada kaum bangsawan dan
keluarga
kerajaan Banjar. Hal ini terlihat dari
awal kedatangan Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari dan Abdul Wahab Bugis
di tanah Banjar (Martapura) pada bulan Ramadhan tahun 1208 H/1772 M yang
disambut meriah oleh seluruh komponen
masyarakat Banjar, tidak hanya
masyarakat biasa akan tetapi juga kaum
bangsawan dari kerajaan Banjar.
Mengingat Syekh Muhammad Arsyad sendiri sudah dianggap dan diakui sebagai
bubuhan kerajaan, terlebih-lebih lagi
manakala mengetahui status Abdul
Wahab yang juga seorang bangsawan,
sehingga oleh pihak kerajaan ia diberikan
tempat untuk tinggal dalam istana. Menjadi guru agama di Istana dan
mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada
bubuhan kerajaan. Kedua, membantu Syekh
Muhammad Arsyad membuka perkampungan
Dalam
Pagar yang telah dihadiahkan oleh kerajaan Banjar kepada beliau sebagai
tanah lungguh. Mengingat tekad kuat
dan ikrar setia yang disampaikan oleh
Abdul Wahab untuk mensyiarkan agama Islam
di tanah air, sesuai dengan pesan
guru mereka ketika masih di kota Madinah, ia juga aktif mengajarkan
ilmu-ilmu agama kepada masyarakat luas
yang datang berbondong-bondong ke
Dalam Pagar yang sudah dikenal dan menjadi
pusat pendidikan serta
penyiaran agama Islam pada masa itu. Ketiga, di samping itu Abdul Wahab sebagai menantu
dan sekaligus sahabat
Syekh Muhammad Arsyad yang juga
memiliki pengetahuan agama yang luas
dan alim, diduga sedikit banyak beliau
ikut menyumbangkan ilmu, pendapat, dan pandangannya –sumbang saran–
terhadap berbagai masalah-masalah
keagamaan yang terjadi di Tanah Banjar.
Dengan kata lain Abdul Wahab
merupakan teman diskusi atau
mudzakarah agama Syekh Muhammad Arsyad. Hal ini terlihat dari adanya istilah-
istilah tertentu dalam Bahasa
Bugis –walaupun dalam jumlah yang
sangat kecil, dan untuk hal ini lebih jauh
perlu dilakukan penelitian dan
pengkajian kembali melalui pendekatan Linguistik– pada penulisan dan penyusunan
risalah atau kitab-kitab yang
ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad al-
Banjari, terutama Kitab Sabilal
Muhtadin. Mengingat kedudukan dan
kedekatannya, sumbangan pemikiran Abdul Wahab
terhadap sejumlah karya tulis Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari dapat saja
terjadi, mengingat bahwa: 1. Abdul Wahab
adalah salah seorang ahli
Fiqih dan murid dari Imam Haramain, Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi
dan Syekh Athaillah bin Ahmad al-Misri,
yang lama menuntut ilmu di Mesir dan
Haramain, beliau adalah seorang yang alim,
sahabat sekaligus menantu yang
berjuang berdampingan bersama Syekh Muhammad Arsyad, mewujudkan ikrar
yang telah ditetapkan ketika berkumpul
bersama-sama (dengan tokoh empat
serangkai lainnya) sesudah menuntut ilmu di
Madinah, dan akan pulang ke
tanah air. 2. Abdul Wahab adalah salah seorang tokoh dari “empat serangkai” yang
mendapatkan ijazah khalifah dalam
tarekat Sammaniyah ketika keempatnya
belajar dan mengkaji ilmu tasawuf atau
tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad
bin Abdul Karim Samman al- Madani. 3. Abdul Wahab dianggap sebagai
tokoh
penting dalam jaringan ulama Nusantara
pada abad ke-18 dan ke-19 karena
keterlibatannya secara sosial maupun
intelektual dalam jaringan ulama tersebut. Ketokohannya diakui dan dapat
dilihat dari gelar syekh yang beliau
sandang. Sebab gelar syekh dalam
khazanah masyarakat Banjar
mengisyaratkan kealiman
penyandangnya, sekaligus pula menjadi penanda bahwa yang bersangkutan pernah
atau lama mengkaji ilmu di
Tanah Haramain (Mekkah atau Madinah).
Karena itulah di samping diangkat
menjadi guru di istana kerajaan Banjar
oleh sultan, dalam kehidupan masyarakat luas pun ia dihormati dan dijadikan sebagai
guru rohani mereka. Keempat, untuk
mendidik dan membina kader-kader penerus
dakwah Islam,
Syekh Muhammad Arsyad telah
membuka daerah Dalam Pagar, mendirikan surau, rumah tempat
tinggal sekaligus mandarasah yang
menjadi tempat untuk belajar masyarakat,
mengkaji dan menimba
ilmu, sekaligus tempat untuk mendidik
kader-kader dakwah. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari bersama Abdul Wahab
telah membangun sebuah pusat
pendidikan Islam yang serupa ciri- cirinya
dengan surau di Padang Sumatera
Barat, rangkang, meunasah dan dayah di
Aceh, atau pesantren di Jawa. Bangunan tersebut terdiri dari ruangan-
ruangan untuk belajar, pondokan tempat
tinggal para santri, rumah tempat
tinggal Tuan Guru atau kyai, dan
perpustakaan. Oleh Humaidy lembaga
pendidikan Islam ini, sebagaimana istilah yang biasa dipakai di kawasan dunia
Melayu, seperti Riau, Palembang,
Malaysia, Brunei Darussalam, dan Fattani
(Thailand) disebut punduk. Sehingga
Dalam Pagar akhirnya berhasil menjadi
locus dan kawah candradimuka paling penting untuk mendidik serta
mengkader para murid yang kemudian
hari menjadi ulama terkemuka di
kalangan masyarakat Kalimantan. Tentu di
masa-masa sulit seperti ini
beliau berdua dengan anak menantu dan sekaligus sahabatnya, Abdul Wahab Bugis
saling membantu, mengisi, dan
membina kader-kader dakwah yang
banyak jumlahnya tersebut. Hasilnya, di
samping berhasil menjadikan anak cucu
mereka –Fatimah dan Muhammad Yasin bin Syekh Abdul Wahab Bugis serta
Muhammad As’ad bin Usman (mufti
pertama di kerajaan Banjar)– sebagai
ulama, membentuk kader-kader masyarakat
yang kelak menjadi ulama
terkemuka, mereka berdua juga berhasil membentuk masyarakat Islam Banjar
yang memiliki kesadaran untuk
berpegang pada ajaran agama Islam
melalu dakwah bil-lisan, bil-kitabah, dan bil-
hal, serta diteruskan kemudian oleh
generasi-generasi dan kader-kader yang telah dibina melalui upaya pengiriman
juru dakwah ke berbagai daerah yang
masyarakatnya sangat memerlukan
pembinaan agama, dari sini akhirnya dakwah
terus berkembang dan ajaran
Islam semakin tersebar luas ke tengah- tengah masyarakat Banjar. Perkembangan
dakwah Islam yang
begitu menggembirakan, pada akhirnya
memicu simpatik Sultan Tahmidullah II
bin Sultan Tamjidillah untuk
memberikan keleluasaan kepada Syekh Muhammad Arsyad untuk lebih
memantapkan dan mengembangkan
Islam di Tanah Banjar secara melembaga,
agar agama Islam benar-benar menjadi
way of life, keyakinan dan pegangan
masyarakat Banjar khususnya, dan Kalimantan umumnya. Sultan Banjar
berkeinginan pula untuk
menertibkan dan menyempurnakan
peraturan yang telah dibuat berdasarkan
hukum Islam, wadah atau badan yang
menjaga agar kemurnian hukum dapat diterapkan, dan yang lebih penting lagi
adalah agar roda pemerintahan di
kerajaan benar-benar dapat dilaksanakan
dengan baik sesuai dengan tuntunan
agama. Sehingga bermula dari sinilah
kemudian timbul lembaga-lembaga dan jabatan-jabatan keislaman dalam
pemerintahan, semacam Mahkamah
Syar’iyah, yakni Mufti dan Qadli. Mufti
adalah suatu lembaga yang
bertugas memberikan nasihat atau fatwa
kepada sultan masalah-masalah keagamaan, jabatan mufti kerjaan Banjar
yang pertama dipegang oleh H.
Muhammad As’ad bin Usman (cucu Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari).
Sedangkan qadli adalah mereka yang
mengurusi dan menyelesaikan segala urusan hukum Islam, terhadap masalah
perdata, pernikahan, dan waris, jabatan
qadli yang pertama dipegang oleh H. Abu
Su’ud bin Syekh Muhammad Arsyad al-
Banjari. Sampai akhirnya Syariat Islam
diterapkan sebagai hukum resmi yang mengatur kehidupan masyarakat Islam
di tanah Banjar pada masa pemerintahan
Sultan Adam al-Watsiq Billah bin Sultan
Sulaiman al-Mu’tamidillah (1825-1857 M),
yang dikenal dengan nama Undang-
Undang Sultan Adam (UUSA). Dibentuk dan diberlakukannya UUSA ini bertujuan
untuk mengatur agar kehidupan
beragama masyarakat menjadi lebih baik,
mengatur agar akidah masyarakat lebih
sempurna, mencegah terjadinya
persengketaan, dan untuk memudahkan para hakim dalam menetapkan status
hukum suatu perkara.Sayangnya, perjuangan
dakwah Abdul
Wahab tidak begitu panjang, ia
meninggal terlebih dahulu dan lebih
muda setelah sekian lama berjuang bahu- membahu mendakwahkan Islam bersama
dengan Syekh Muhammad Arsyad al- Banjari,
yakni lebih kurang 10-15
tahunan. Tidak diketahui secara pasti
memang
kapan tahun meninggalnya, namun diperkirakan antara tahun 1782-1790 M,
dalam usian enampuluh tahunan. Tahun
ini penulis dasarkan pada catatan tahun
pertama kali kedatangannya (1772 M) dan
tahun pemindahan makamnya. Di mana
semula ia dikuburkan di pemakaman Bumi Kencana Martapura, namun oleh
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
kemudian, bersamaan dengan
pemindahan makam Tuan Bidur, Tuan Bajut
(isteri dari Syekh Muhammad
Arsyad), dan Aisyah (anaknya Tuan Bajut), makamnya kemudian dipindahkan
ke desa Karangtangah (sekarang masuk
wilayah desa Tungkaran Kecamatan
Martapura) pada pada hari Selasa, 2 Rabiul
Awal 1208 H (1793 M). Karena itu bisa
diperkirakan bahwa, dihitung dari tahun pertama kedatangan hingga wafatnya,
Abdul Wahab telah bahu-membahu dan
memperjuangkan dakwah Islam
mendampingi Syekh Muhammad Arsyad di
tanah Banjar sekitar 10-15 tahun.

Komentar

  1. SUBAHANALLAH AKHIRNYA ULUN KAWA MELIHAT FOTO DATU KELAMPAIAN YANG ASLI TERIMA KASIH

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SYEKH ABDUR RAHMAN MISRI AL BETAWI

MANAQIB DATU KALAMPAYAN